Kamis, 24 Juni 2004

Pansus Migas Bekasi Tinjau LPG Plant Maruta

[Suara Pembaruan] - Bupati Bekasi Saleh Manaf bersikeras memutuskan hubungan kerja sama PT Bina Bangun Wibawa Mukti (BBWM), Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) Pemkab Bekasi, dengan PT Maruta Bumi Prima (MBP). Pada pihak lain, anggota Panitia Khusus (Pansus) Minyak dan Gas Bumi (Migas) DPRD Kabupaten Bekasi justru memperlihatkan dukungan ke MBP, dengan melakukan kunjungan dinas ke LPG Plant milik MBP di Pangkalan Susu, Pangkalan Brandan, Sumatera Utara.

Selain dari dana APBD, kunjungan dinas yang diikuti 21 anggota Pansus ditambah tiga pimpinan DPRD itu, Sabtu (19/6) dan Minggu (20/6), dikabarkan juga didanai MBP Nilai tunjangan transpor dan akomodasi Rp 20 juta/ orang, belum ditambah tunjangan lain.

Tetapi, hal itu dibantah anggota Pansus Migas, Rasyad Irwan, Senin (21/6) siang. "Siapa bilang? Tidak betul itu. Kunjungan itu, terkait sengketa yang sedang terjadi. Selama ini dikatakan kalau Maruta tidak berpengalaman, dan mereka kemudian mengundang untuk melihat kondisi LPG Plant mereka yang sudah ada," ia menjelaskan.

Irwan pun membantah kunjungan itu memperlihatkan keberpihakan dewan kepada MBP. Kunjungan itu untuk melihat langsung LPG Plant, sebagai bahan pertimbangan dalam membuat keputusan nantinya. "Bukan berpihak," ujarnya.

Ia tidak membantah atau mengiyakan, ada kecenderungan dukungan dari Pansus Migas kepada MBP. Irwan mengatakan, Pansus Migas telah selesai membicarakan hal itu, dan sudah mengeluarkan rekomendasi. Salah satunya, agar BBWM menyelesaikan masalah secepatnya dengan Maruta, mencari solusi, karena masih terbuka kesempatan untuk kembali bekerja sama dengan Maruta.

"Nanti keputusan politiknya di sidang paripurna dewan. Yang jelas, pansus berharap BBWM segera beroperasi, segera mencari solusi terhadap masalah dengan Maruta. Bila beranjak ke mitra baru, butuh waktu, sementara masalah pengelolaan migas ini sudah berjalan dua tahun, dan belum selesai," katanya.

Ia menambahkan, saat ini Pertamina telah mengirimkan surat kepada BBWM, agar secepatnya memberi kejelasan, memenuhi beberapa persyaratan yang diperlukan untuk melanjutkan Kesepakatan Bersama Jual Beli Gas (KBJBG) Lapangan Tambun. "Kita diberi waktu 6 bulan sebelum dilakukan Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG), sejak penandatanganan KBJBG 12 Februari 2004. Artinya ada batas waktu hingga akhir Juli nanti," ucapnya.

Tujuh Persyaratan

Ada tujuh persyaratan yang harus dipenuhi BBWM, sebelum PJBG dilakukan. Pertama, menyerahkan rencana kerja detail dan final, perihal pemanfaatan Gas Tambun, termasuk desain proses LPG Plant, lokasi pembangunan LPG Plant, tata waktu, estimasi biaya proyek dan exercise keekonomian proyek, serta mempresentasikannya kepada Pertamina.

Kedua, salinan perjanjian kerja sama antara BBWM dengan mitra kerja yang terkait dengan proyek pemanfaatan Gas Tambun. Ketiga, salinan izin usaha pemrosesan gas, izin usaha niaga gas, izin niaga LPG, dan izin niaga kondensat dari instansi berwenang. Keempat, salinan izin pembangunan LPG Plant dan pipa salur gas dari instansi berwenang. Kelima, jaminan pembeli akhir, dalam bentuk salinan MoU (memorandum of understanding), surat kesepakatan, atau kontrak perjanjian jual beli antara BBWM dengan pembeli akhir. Keenam, jaminan dukungan finansial dalam bentuk surat asli jaminan bank. Ketujuh, jaminan penyaluran gas Lapangan Tambun senilai 400.000 dolar AS.

Pada poin 6 KBJBG, disebutkan Pertamina dan BBWM sepakat untuk menyelesaikan PJBG paling lama 6 bulan setelah KBJBG. Keterlambatan penyelesaian PJBG akan membatalkan rencana jual beli gas lapangan Tambun. Untuk selanjutnya, gas akan dialokasikan untuk kepentingan Pertamina sendiri, dan antara Pertamina dan BBWM akan membicarakan pola kerja sama baru.

"Masalah pengelolaan migas adalah urusan Pertamina, semua harus izin mereka. Karena itu, sebenarnya yang kita lakukan saat ini, perjanjian pengolahan gas buang di Lapangan Tambun, merupakan pertama kalinya terjadi. Ini kesempatan Bekasi untuk menambah pendapatan asli daerah (PAD). Kita bukan menolak investor baru. Silakan saja, kalau memang bisa menyelesaikan semuanya sebelum batas waktu," ujar Irwan.

Ia juga menyanggah tudingan dewan telah melakukan intervensi terlalu jauh, dan membuat penyelesaian PJBG terkatung-katung. "Benar, masalah pengelolaan gas, dengan siapa BBWM akan bermitra, itu urusan Direksi BBWM sendiri. Tapi itu kalau tidak ada masalah. Kalau ada terjadi masalah, di mana masyarakat mungkin dirugikan, dewan harus turun dan mengklarifikasi masalahnya, serta mendorong tercapainya solusi terbaik," Irwan menandaskan.

Kesalahan

Saat ini, BBWM, diakui Saleh Manaf, tengah menjajaki kerja sama dengan investor baru, yaitu Brantwood. Bahkan perusahaan asing itu, telah menyetorkan modal sebesar 5 juta dolar AS, termasuk di dalamnya jaminan dana sebesar 400.000 dolar AS, untuk memenuhi persyaratan PJBG dengan Pertamina.

"Itu tabungan, artinya menunjukkan keseriusan investor itu sendiri untuk melakukan kerja sama," ujarnya.

Menurut Manaf, tuntutan yang saat ini dikeluarkan Maruta kepada BBWM, terkait pemutusan kerja sama yang dinilai sepihak, tidak akan menjadi hambatan dalam pelaksanaan kerja sama baru antara BBWM dengan Brantwood.

"Masalah mitra kerja, itu kewenangan direksi BBWM. Sementara tuntutan Maruta, akan dihadapi oleh bagian hukum Pemkab Bekasi," katanya.

Ia menegaskan pemutusan kerja sama dengan Maruta bukan dilakukan sepihak. Hal itu lebih dikarenakan tidak ditunjukkannya niat baik dari Maruta. Beberapa penyimpangan yang terjadi sebelumnya, dalam kerja sama antara BBWM dengan Maruta, antara lain pemberian uang ganti rugi kepada PT Elnusa sebesar Rp 5 miliar.

"Untuk apa pergantian biaya itu? Sementara antara BBWM sendiri belum ada kontrak kerja sama apa pun, baru kesepakatan saja. Dengan demikian belum ada investasi apa pun yang telah dikeluarkan Elnusa. Lalu untuk apa uang ganti rugi itu? Kalau dikatakan Elnusa telah mengeluarkan dana, hingga harus diganti rugi, justru itu yang harus dipertanyakan," ucap Manaf.

Lebih jauh, antara Maruta dan BBWM, terdapat dua kali perjanjian kerja sama (PKS). PKS pertama pada 22 Oktober 2003, otomatis harus batal setelah dibuat PKS kedua pada 29 Desember 2003. PKS kedua sendiri harus batal demi hukum, dikarenakan isi perjanjian yang tidak sesuai.

Pada PKS kedua, isi perjanjian kerja sama antara BBWM dan Maruta adalah tentang Pengoperasian dan Pengelolaan Proyek Minyak dan Gas Bumi di Kabupaten Bekasi. Disebutkan juga, setelah PKS kedua itu, BBWM tidak lagi berhak, langsung ataupun tidak langsung melakukan tindakan hukum yang berhubungan dengan proyek migas.

"Isi perjanjian itu batal demi hukum, karena menyalahi kewenangan yang ada, yaitu mengatur masalah pengelolaan minyak bumi. Sementara pada KBJBG dengan Pertamina hanya pengolahan gas. Ditambah lagi soal pelimpahan kewenangan penuh pada Maruta," ujarnya.

Letak kesalahan lain, adalah pembuatan anak perusahaan antara Maruta dan BBWM, bernama Bumi Wibawa Maruta (BWM), dengan pembuatan akta notaris pada 13 Februari 2004, di kantor notaris Irsal Bakar. Kemudian pada 16 Februari, kembali dibuat akta Notaris perubahan sususan direksi BBWM dan BWM. Pembuatan akta notaris itu sendiri, berdasarkan lampiran surat kuasa dari Wikanda Darmawijaya selaku Bupati Bekasi, yang dengan begitu adalah pemegang saham mayoritas.

Padahal, pada 21 Januari, masa jabatan Wikanda telah berakhir, dengan dilantiknya Saleh Manaf sebagai Bupati Bekasi yang baru. Dengan begitu ada cacat hukum dalam pembuatan kesepakatan. Tetapi, berbagai penyimpangan yang ada, tampaknya tidak menjadi perhatian dari sebagian besar anggota DPRD Kabupaten Bekasi, yang akan segera habis masa jabatannya. (B-14

Tidak ada komentar: